Minggu, 10 November 2013

Kasus Kejahatan Korporasi Dalam Kasus Restitusi Pajak

Latar Belakang

Korporasi sebagai alat yang sangat luar biasa untuk memperoleh keuntungan pribadi tanpa perlu adanya pertanggung jawaban. Pada berbagai sector perekonomian, dapat ditemukan satu contoh pelanggaran korporasi yang telah menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan. Walaupun terdapat berbagai bukti yang menunjukkan adanya kejahatan korporasi, namun hukuman atas tindakan tersebut selalu terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi pada berbagai perusahaan dimasa lalu dapat hidup kembali.


Kejahatan Korporasi

Black's Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees, often referred to as "white collar crime"

Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawan, yang sering disebut juga sebagai "kejahatan kerah putih"

 Sally. A Simpsons yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah "Conduct of a corporation, or a employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law"

Simpsons menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi, yaitu:
  1. Tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosial-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.
  2. Baik korporasi sebagai (subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan, dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.
  3. Motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.

Kejahatan korporasi mungkin tidak terlalu sering kita lihat dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian juga pada umumnya sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini, yaitu:
  1. Kejahatan-kejahatan yang dilaporkan oleh masyarakat hanyalah kejahatan-kejahatan konvensional. Penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas aparat kepolisian sebagian besar didasarkan atas laporan anggota masyarakat, sehingga kejahatan yang ditangani oleh kepolisian juga turut bersifat konvensional.
  2. Pandangan masyarakat cenderung melihat kejahatan korporasi atau kejahatan kerah putih bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya.
  3. Pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa yang diakui sebagai subyek hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia.
  4. Tujuan dari pemindanaan kejahatan korporasi adalah lebih kepada agar adanya perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan pemindanaan kejahatan lain yang konvensional yang bertujuan untuk menangkap dan menghukum.
  5. Pengetahuan aparat penegak hukum menyangkut kejahatan korporasi masih dinilai sangat minim, sehingga terkadang terkesan enggan untuk menindak lanjutinya secara hukum.
  6. Kejahatan korporasi sering melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi proses penegakan hukum.

Contoh kasus 

Korupsi Pajak - Bareskrim Bidik Kejahatan Korporasi

Jakarta - Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusu (Eksus) Bareskrim Polri membidik kejahatan korporasi dalam kasus korupsi restitusi pajak. Pidana korporasi terindikasi dilakukan oleh PT. Surabaya Agung Industri Pulp dan Kertas (SAIPK) yang menyuap dua pegawai pecatan Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak Kementrian Keuangan (Kemenkeu) Denok Tavi Periana dan Totok Hendrianto.

PT. SAIPK menurapak perusahaan wajib pajak yang diduga menyuap Denok dan Totok terkait kepentingan restitusi pajak. Direktur Tindak Pidana Eksus Bareskrim Polri Brigjen Pol Arief Sulistyanto mengatakan, PT. SAIPK terindikasi melakukan tindak pidana, namun tim penyidik masih mengkaji rencana penjeratan ini. "Kita masih melakukan kajian untuk mengajukan korporasinya dalam kejahatan korporasi," tandas Arief di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, kemarin.

Arief mengungkapkan, indikasi adanya kejahatan korporasi dalam kasus ini karena penyidik mengungkap adanya dugaan uang hasil pengembalian pajak yang digunakan untuk menyuap Denok dan Totok. Namun, papar Arief, jika nantinya ada bukti kuat yang bisa menjerat PT. SAIPK, maka yang harus bertanggung jawab secara hukum adalah pimpinan perusahaannya. Karena itu, Polri juga akan menelusuri adanya dugaaan keterlibatan pimpinan PT. SAIPK dalam kasusu penyuapan ini.

Penyidik, kata Arief, juga tengah menelusuri perusahaan lain yang berurusan dengan Totok dan Denok dalam penanganan pajaknya. "Sudah ada dokumen yang diserahkan Ditjen Pajak dan kami telusuri apa ada modus yang sama yang dilakukan perusahaan lain?" tuturnya. Arief juga mengungkapkan berkas perkara dua tersangka sudah rampung. Rencananya, pekan depan dua berkas perkara terpisah ini akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. "Sekitar Selasa atau Rabu depan," ujarnya.

Pengamat pencucian uang Universitas Trisakti Jakarta Yenti Garnasih mengatakan, dengan adanya kasus ini maka wajar publik menilai korupsi pajak banyak dilakukan pada era itu. Dia pun mendorong agar instansi terkait, dalam hal ini Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), Inspektorat Jendral Kemenkeu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisisan dan Kejaksaan berkoordinasi untuk mengungkap korupsi di Ditjen Pajak pada tahun-tahun itu. "Saya bisa berkesimpulan bahwa banyak korupsi yang dilakukan pada era itu tapi belum terendus. Karena itu, harus ada upaya dari PPATK menelusuri rekening para pegawai pajak," papar Yenti.



Polisi Bidik Kejahatan Korporasi dalam Kasus Restitusi Pajak

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepolisian berencana akan mempidanakan korporasi yang melakukan suap dalam kasus restitusi pajak yang melibatkan dua pegawai pajak.

"Kami masih melakukan pengkajian untuk mengajukan korporasinya dalam kejahatan korporasi, perusahaan sebagai pelaku tindak pidana," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Pol Arief Sulistyanto di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (8/11/2013).

Menurutnya dalam praktiknya perusahaan yang dikendalikan Berty memberikan suap kepada pegawai pajak menggunakan uang hasil kejahatan pajak.

"Rupanya uang suap yang diberikan merupakan hasil restitusi pajak," ucapnya.

Pihaknya pun masih terus mengembangkan kemungkinan ada perusahaan lain yang melakukan kejahatan pajak yang sama sehingga negara mengalami kerugian. 

"kami sedang mempelajari dokumen-dokumen dari kantor pajak, sasarannya wajib pajak lain yang ditangani dua tersangka ini, yang mungkin memperoleh restitusi pajak dengan cara yang sama," kata Arief.

Sebelumnya diberitakan, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus korupsi dan pencucian uang di Direktorat Jendral Pajak.

Dua orang diantara mantan pegawai pajak, yakni Denok Tavi Periana dan Totok Hendrianto. Mereka, diduga sebagai penerima suap Rp 1,6 miliar dari komisaris PT. Surabaya Agung Industri and Paper atas nama Berty.

Akibat persengkongkolan tersebut, negara dirugikan Rp 21 miliar yang merupakan jumlah restitusi yang dicairkan kepada PT Surabaya Agung Industri and Paper sejak tahun 2004 sampai 2007.

Denok Tavi Periana, Totok Hendrianto dan Berty diamankan Senin (21/10/2013) dan kini meringkuk di Tahanan Bareskrim Polri. Ketiganya disangkakan dengan pasal 5, 11, 12 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan pasal 3 dan 6 Undang-undang tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).



Analisa

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikenakan:

  •  Pasal 5 UU No. 31/1999
“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (Dua ratus lima puluh juta rupiah)”.

  • Pasal 11 UU No. 31/1999
“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (Dua ratus lima puluh juta rupiah)”.

  • Pasal 12 UU No. 31/1999
“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”



Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dikenakan:

  • Pasal 3 UU No. 8/2010
“Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.

  • Pasal 6 UU No. 8/2010
(1)   Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan atau Personil Pengendali Korporasi.
(2)   Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:
a.       Dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali Korporasi
b.      Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi
c.       Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah
d.      Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi



Sumber:





Fistia Fanni Hapsary
4EA09 / 12210817




1 komentar:

  1. jadi kasusu ini terjerat pasaql berapa dan uu apa? mohon penjelasanya !!!!

    BalasHapus